Being Real
Filler muka, tambalan silikon di dada, ekstension rambut dari bahan yang entah apa namanya, warna muka yang nggak sama dengan leher, beras plastik, garam dari pecahan kaca, perempuan jadi-jadian yang kalau pagi jadi kuli – malam jadi esmeralda, sampai mainan robot seks yang dibuat lebih cantik dari perempuan asli.
Bahkan orang yang harusnya udah mati pun bisa dihidupkan pakai jantung bionik macam si Rothschild – biarpun akhirnya mati juga.
Nothing is real anymore.
“Being real, sucks!” Kata mereka.
“Aslinya gue nggak menjual,” kata si artis A yang kerjanya bikin kontroversi biar tetap eksis.
Motivator kondang rupanya punya masalah rumah tangga yang berat. Chester Bennington dan Robin Williams yang selalu kelihatan bahagia berakhir bunuh diri. Publik figure yang dulunya hits sekarang jadi pecandu narkoba dan bolak balik masuk rehab. Orang-orang mencari popularitas dengan membuat persona baru yang bukan diri mereka.
“Aku mau kaya dia,” ucapan yang bisa membuat si-dia itu berasa teleportasi ke surga karena sudah jadi panutan, nggak peduli kehidupan aslinya sekasar parutan kelapa yang gigi-giginya udah rompal karena dimakan usia.
Being real is sucks karena dengan being real dia nggak bisa menginspirasi orang. Terus kenapa sih harus selalu jadi inspirasi buat orang lain? Kenapa nggak bisa jadi orang biasa aja? Kenapa harus selalu jadi seleb – entah di twitter, instagram, facebook, bigo live, snapchat, atau apalah.
Nggak semua orang dilahirkan untuk jadi sumber inspirasi. Kompas aja cuma inspirasi Indonesia, bukan inspirasi dunia. Miss universe aja terbatas untuk earth dan nggak ada peserta dari planet lain di seputaran bumi. Manusia itu terbatas, jadi ya nikmati aja keterbatasan itu dengan cara sendiri, siapa tau nanti caramu itu justru jadi inspirasi untuk orang lain tanpa kau sadari.
Komentar pun sekarang udah nggak konstruktif lagi. Padahal waktu sekolah, tiap kali ada tugas ilmiah atau disuruh presentasi pasti selalu diakhiri dengan “kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.”
Instead of membangun, sekarang komentar lebih ke nyinyir nggak jelas. Mengomentari sesuatu yang nggak ada hubungannya sama subjek yang lagi di (ehem) pamerkan di sosial media. Ada orang yang pamer lekuk badannya setelah sukses nge-gym bertahun-tahun, yang dikomentari malah kenapa mbaknya nggak berjilbab. Ada orang yang pamer jalan-jalan di sosial media – because they can – malah dikomentari disuruh sedekahnya diperbanyak.
We hate because we don’t understand.
Tapi gimana caranya kita bisa ngerti, kalau yang ditunjukkan pun sesuatu yang nggak real?