Honestly, This is Why I Keep Blogging
Aku nggak bisa menghasilkan uang dari blog (mungkin nggak dalam waktu dekat).
Salah satu kesalahan terbesarku membuat blog adalah berusaha untuk menjadikan blog sebagai sumber uang. Sebenarnya “menjual” tulisan di blog itu bukan omong kosong. Ribuan orang di seluruh dunia sudah berhasil hidup dari menulis. Di Indonesia ada Arief Muhammad (poconggg), Bena Kribo, Raditya Dika dan Stephany Josephine (theFreakyTeppy) misalnya. Mereka sukses dengan blognya masing-masing sebelum melanjutkan ke Youtube.
Tapi nggak semua orang bisa segigih mereka. Aku nggak mau bilang mereka beruntung, karena buatku keberuntungan itu nggak datang dari langit tapi dibuat sendiri.
Luck = Hard Work + Perfect Timing
Dan mengatakan mereka beruntung itu artinya merendahkan dan meniadakan perjuangan mereka untuk mikir mau nulis apa, mikir gimana cara menyampaikannya, dan gimana cara mempertahankan konsistensi menulis bertahun-tahun.
Sampai detik ini, blogging masih jadi sesuatu yang menarik buatku. Walaupun orang-orang sudah mulai berpindah ke Facebook, Twitter atau Tumblr, buatku menulis di platform seperti WordPress, Blogspot, Medium bahkan Kompasiana tetap punya daya tarik tersendiri. Salah satunya karena GUInya memang didesain untuk menulis panjang-panjang. Alasan lain karena menulis di blog lebih bebas daripada di media sosial.
Menulis di media sosial memang terlihat lebih mudah. Nggak perlu mendaftar atau beli domain, nggak perlu bayar biaya hosting, nggak perlu mikir tampilan website dan tetek bengek teknis lain. Tapi ketika orang berani dan mulai menulis di media sosial, itu artinya dia siap tulisannya dibaca semua orang di daftar pertemanannya. Nah nggak semua orang punya mental untuk mengungkapkan opini dan isi hatinya se-frontal itu.
Sementara di WordPress, untuk bisa terbuka butuh waktu yang lebih lama karena si penulis harus “terkenal” dulu sebelum orang-orang mulai berdatangan ke blog untuk membaca diary digitalnya. Ada jeda yang cukup panjang antara bukan siapa-siapa → terkenal. Dan untuk menjadi terkenal, tulisan di blognya pun harus punya daya tarik, yang proses menciptakannya itu nggak mudah.
Nah! Kembali ke alasan kenapa aku tetap menulis.
Aku menulis di blog karena merasa ada yang harus kubagikan. Ada sesuatu yang tersangkut di kepalaku yang kurasa penting untuk di “immortalized” dalam bentuk tulisan yang bisa dibaca kapan saja dan mungkin bisa jadi saksi sejarah kalau aku dulu pernah punya opini X, Y dan Z. Tapi semakin lama kurasa aku nggak punya tema yang cukup kuat untuk dibagikan. Sebagian besar tulisanku bahkan nggak saling terhubung. Benar-benar seperti diary yang isinya amburadul tanpa benang merah.
Aku nggak suka bikin review. Karena kurasa aku nggak cukup kompeten untuk mereview sesuatu dan cenderung bias. Termasuk review makanan, karena lidahku lidah kampung yang cuma kenal 2 jenis makanan. Makanan enak dan nggak enak. Aku nggak bisa seperti food blogger lain yang bisa tahu takaran susunya kebanyakan atau garamnya terlalu sedikit.
Aku juga nggak bisa melawak dalam tulisan. Mungkin secara lisan aku sering bikin orang nggak bisa bernapas dan sakit perut dengan guyonan dan candaan yang 40% sadis, 30% mesum dan 30% absurd, tapi untuk menaruhnya dalam bentuk tertulis seperti mengurangi makna asli dari guyonan itu. Termasuk dalam bentuk VLOG pun aku nggak cukup mahir.
Karena alasan-alasan itu juga akhirnya aku memilih tetap menulis di blog bukan untuk mencari dan membuktikan apa-apa, tapi hanya untuk belajar merangkai kata-kata menjadi kalimat runut – itupun kalau memang runut.
Satu cita-cita terbesarku adalah dikenal sebagai penulis. Sampai sekarang ada banyak ide di kepalaku yang sudah kucoba untuk merangkai jadi sebuah buku, tapi rupanya kemampuanku masih belum cukup untuk jadi seorang penulis. Aku suka membaca buku dari segala genre (aku punya buku Mein Kampf – Hitler) dan sudah terlalu banyak buku-buku yang kubuang ke tempat sampah (sorry, not sorry) hanya karena tulisannya nggak bermutu, terlalu dangkal atau terlalu absurd untuk jadi sebuah buku.
Pendapat pribadiku bilang, buku itu seharusnya sakral – bukan dalam pengertian magis – dan jadi masterpiece seseorang dalam hidupnya. Jadi seperti seharusnya masterpiece, buku itu harusnya hebat dan bukan sekedar kompilasi kejadian-kejadian “lucu” di sekitar penulisnya. Okelah mungkin dia punya banyak kejadian lucu yang menurutnya layak untuk jadi buku, tapi dia bisa membuat itu dalam satu kisah yang runut dengan karakter, setting, alur yang baik, bukan cuma sekedar tulisan berbentuk diari yang dicetak di kertas berbentuk buku.
Di sinilah fungsi dari sebuah blog menurutku. Untuk jadi tempat belajar dan menyimpan kejadian-kejadian atau pikiran-pikiran seseorang sebelum akhirnya dirangkai menjadi sebuah cerita yang punya semua elemen penyusun sebuah buku. Blog menurutku adalah tempat untuk belajar dan menemukan “suara” seorang penulis sebelum dikeluarkan dalam bentuk buku. Itupun kalau memang dia mau menulis sebuah buku. Karena di beberapa kejadian, di sebuah buku picisan yang isinya diambil dari blog, suara si penulis berbeda di tiap-tiap chapter.
Seperti yang kubilang tadi, buku perlu karakter. Dengan kondisi blog yang di bukukan, seharusnya karakter dan sudut pandangnya adalah dari si pemilik blog, yang seharusnya tidak berubah-ubah di tiap kejadian. Tapi faktanya di beberapa bagian bukunya si karakter utama justru terlihat bingung dengan jatidirinya. Ini adalah kemunduran. Memang menulis buku nggak selalu harus mengikuti pakem dan buku-buku teori. Tapi karakter yang kehilangan jatidiri itu adalah dosa besar dalam menulis.
Yah, terlepas dari apapun pendapatku tentang blog dan buku, semua orang punya cara berpikir masing-masing yang mereka anggap paling benar. Jadi, kembali lagi ke masing-masing “penulis”. So, why are you blogging?
Read this too: