Don’t Take Anything For Granted
Bukan maksud gue untuk menyenggol filosofi Jawa turun temurun “Nrimo Ing Pandum”, tapi menganggap semuanya akan jadi baik pada waktunya kayaknya gak selalu tepat. Mirip dengan istilah jadul “yang waras ngalah,” ini juga jadi kurang relevan sekarang. Karena kalau yang waras ngalah terus, artinya orang gila akan menang – terlepas konteks kemenangannya apa.
Gue nggak mau membahas kondisi dalam negeri yang terlalu sensitif, jadi lebih aman kalau gue bahas tentang Donald Trump. Mantan presiden, dan pengaruhnya dalam politik Amerika Serikat juga udah gak kuat-kuat banget.
Sejak awal digadang-gadang jadi pengganti Barrack Obama, Republikan gak punya calon yang cukup kuat untuk menantang Hillary. Dan setiap kali ada orang yang membawa nama Donald Trump, akan berakhir dengan ejekan. Mengejek Donald dan orang yang membawa namanya ke diskusi. “Butt of the jokes,” istilahnya.
Tapi faktanya, Trump sukses jadi Presiden Amerika Serikat, dengan segala kontroversi dan meme. Gue gak tau ini disebut apa selain pelajaran mahal untuk rakyat Amerika dan dunia jangan pernah menganggap semua akan baik-baik saja dengan sendirinya. Kalau memang ngerasa gak cocok, speak up.
Ini berlaku bukan cuma di dunia politik. Di karir juga begitu. Kalau sudah merasa gak cocok dengan kondisi pekerjaan atau kurang sesuai dengan gaya leadership dari atasan, speak up. Inilah fungsi dari skip level one-on-one (kalau di kantor kalian gak ada, minta dibuatkan ke HRD). Kalau perlu minta akses untuk satisfaction survey yang anonymous biar atasan gak tahu siapa yang mengisi survey dan gak bisa retaliate alias balas dendam.
Pelajaran ini gak cuma untuk urusan politik dan pekerjaan saja, tapi dalam konteks kehidupan yang lebih luas dan umum. Membiarkan sesuatu yang gak tepat dengan alasan semua akan membaik pada waktunya jarang happy ending.
Semua pihak punya kepentingan sendiri-sendiri, dan nilai kebaikan yang dipahami masing-masing pihak juga berbeda. Yang mereka anggap baik, belum tentu baik menurut kalian, sebaliknya yang kalian anggap salah bisa saja dianggap pantas oleh orang lain. Jadi, ironis kalau selama ini kita percaya bahwa yang baik pasti akan menang dan kita semua tahu nilai-nilai yang baik, tapi rupanya hasil akhir malah sebaliknya.
Kemudian muncul pertanyaan: apa yang salah? Apa gue kurang baik? Atau sebenarnya gak penting untuk jadi orang baik?
Bukan mau menakut-nakuti, tapi kalau kalian punya cita-cita, carilah jalan yang paling baik ke arah sana, karena gak ada yang namanya “sudah dari sononya”. Kadang mungkin jalannya bukan yang paling ideal dan paling cepat, tapi sebagai seseorang yang berorientasi pada hasil, gue lebih peduli pada nilai, bukan gol-gol cantik.
Punya banyak gol cantik kalau ujung-ujungnya kalah agregat, ya sama aja.