Kesehatan Mental untuk Laki-Laki Average
Perempuan katanya lebih gampang depresi? Benar. Tapi kog angka laki-laki yang bunuh diri lebih besar daripada perempuan? Karena tingkat kesadaran perempuan untuk yang namanya kesehatan mental itu itu lebih tinggi daripada laki-laki.
Perempuan juga cenderung punya lebih banyak channel untuk menyalurkan isi hati mereka. Banyak kuping yang siap mendengarkan – cukup mendengarkan saja, nggak langsung masuk ke solutioning mode. Sementara laki-laki, yang pada dasarnya bukan tipe yang suka curhat sembarangan ke orang yang belum terlalu dekat akan langsung masuk ke mode penyelesaian masalah. Sayangnya, bunuh diri itu sering masuk ke opsi paling atas.
Laki-laki juga terbiasa finished what we started. Sebatas menyakiti diri sendiri sebagai pelarian itu seringkali nggak cukup, harus tuntas sampai ke akarnya. Akar segala masalah itu apa? Bukan uang, tapi kehidupan. “Semua makhluk hidup punya masalah, kalau nggak mau punya masalah? Ya jangan hidup.”
Big fucking mistake.
Gue lahir di keluarga yang cukup konvensional. Tiga orang anak laki-laki di keluarga gue nggak diajarin cara meluapkan emosi dengan berdialog. Marah dan nangis itu dianggap bukan cara menyelesaikan masalah untuk anak laki-laki. Toughen up, bite your lips and move on adalah cara untuk menghilangkan emosi, sayangnya ini bukan cara menyelesaikan masalah.
Menjadi dewasa, untungnya gue mulai bisa lebih leluasa ngobrol dengan Ibu. Anehnya, banyak masalah yang gue hadapi selama merantau itu sebenarnya solusinya ada di kepala gue, cuma entah kenapa solusi itu cuma mau keluar setelah diobrolin ke orang lain. Mungkin ini adalah penerapan rubber duck theory di persoalan non programming, tapi alih-alih ngobrol sama bebek karet, gue ngobrol ke Ibu, yang sama-sama nggak punya solusi sebenarnya karena dia nggak sepenuhnya relate sama masalah gue di kantor.
Kembali ke judul, laki-laki diharapkan tumbuh menjadi seorang kepala keluarga yang providing. Gue nggak mau berkomentar tentang feminisme yada, yada, yada. Gue cuma mau bilang kalau laki-laki mokondo itu nggak akan laku, sementara perempuan tetap akan mendapatkan pendamping biarpun modalnya cuma “aku sayang kamu, aku siap menjaga dan membesarkan anak-anak kita”. Gue nggak bilang ini salah, cuma kalau terjadi sebaliknya, laki-laki itu pasti sudah ditendang jauh-jauh. Karena jadi laki-laki, modal sayang aja nggak cukup. Harus sukses, harus bisa menafkahi, harus punya kerjaan tetap, harus PNS, harus ini, harus itu.
Laki-laki itu punya beban turunan yang perempuan mungkin nggak bisa relate. Mungkin, bukan absolut. Sayangnya beban turunan itu tidak didampingi oleh kemampuan untuk berdialog secara lebih terbuka seperti perempuan. Pola parenting konvensional yang membatasi keterbukaan emosional laki-laki jadi sumber utama kenapa laki-laki lebih banyak yang bunuh diri. Tingkat depresinya mungkin sama, atau lebih rendah daripada perempuan, tapi penyalurannya terbatas.
So, what should we do fellow dick owner?
Sudah waktunya kita lebih terbuka untuk masalah emosional. Kalau memang di “tongkrongan” kita nggak ada ruang untuk bisa mengobrol tentang masalah perasaan, mungkin bisa disalurkan di support group yang cukup banyak bermunculan sekarang di negara kita. Kalau merasa terlalu vulgar untuk membicarakan masalah pribadi ke orang yang baru dikenal, mungkin bisa dimulai ke pasangan, atau ke ulama, ke pendeta atau ke orang-orang yang dituakan. Jangan langsung berharap mereka akan memberikan solusi. Fokus ke penyaluran emosinya aja dulu. Karena seperti ngobrolin masalah ke bebek karet, dia nggak bisa kasih komentar apa-apa, tapi paling nggak kita merasa didengarkan dan kalau sebal bisa dilemparkan ke dinding tapi dia tetap senyum. Bisa diajak mandi bareng pula.
Sumber gambar bebek: https://www.cbc.ca/news/canada/ottawa/giant-duck-tour-brockville-august-2017-1.4242283