Menikmati Dengan Sederhana
Einstein bilang, kalau kau belum bisa menjelaskannya dengan sederhana, artinya kau belum benar-benar memahami sesuatu.
Aku suka minum kopi.
Favoritku kopi kampung alias kopi tubruk – kopi dengan gilingan kasar yang diseduh dengan air panas dari dalam ceret – dan long black atau disebut Americano di beberapa tempat. Racikannya sederhana, dua cangkir espresso ditambah air panas atau es.
Aku punya beberapa alat seduh kopi yang dipakai cuma beberapa kali dan selebihnya disimpan jadi hiasan di lemari. Aku nggak punya mesin espresso karena terlalu mahal untuk dikoleksi.
Kadang aku juga baca hal-hal “berbau” kopi, tapi nggak sampai penasaran dan pengen coba, apalagi harus eksperimen sendiri. Aku juga nggak punya pilihan kopi spesial dari daerah tertentu. Aku minum kopi apa saja selama terasa pas di mulut, nggak peduli darimana, bagaimana, siapa, dan dimana aku sedang minum.
Minum kopi untukku cuma sesederhana giling – seduh – sajikan. Kopi kampung, oke. Kopi murah, nggak masalah. Kopi mahal, boleh lah sekali-sekali.
Seorang kawanku, dia amat-sangat mencintai kopi. Dia baca semuanya tentang kopi, alat, bahan, sejarah, sampai masa depan kopi kalau bukunya ada.
Dia punya biji kopi favorit. Dia punya mode gilingan favorit. Dia punya kafe favorit. Dia punya favorit untuk semuanya. Mungkin kalau bisa, dia menulis “KOPI” di kolom agama di KTPnya.
Di apartmentya yang nggak terlalu besar, satu sudut ruangan didedikasikan untuk peralatan menyeduh kopi dan eksperimen-eksperimen.
Bayangkan gimana serunya mengobrol tentang kopi dengan “pakarnya”.
Tapi faktanya, semua ilmu perkopiannya itu justru membuat dia jadi teman ngopi yang menyebalkan.
Dia pasti selalu menemukan “kekurangan” dari kopi yang dihidangkan di depannya. Dari sekian banyak proses yang dilewati satu biji kopi, dia pasti berusaha menebak di bagian mana ada proses yang salah, nggak peduli orang lain merasa kopi itu baik-baik saja.
Dia nggak bisa menikmati secangkir kopi tanpa berkomentar panjang lebar tentang pengaturan grinding yang nggak sesuai, temperatur air yang kurang pas, gelas kopi yang tidak dipanaskan, sampai barista yang kurang cekatan,
Sebagai “ahli” kopi, seharusnya dia membuat amatir macam aku jadi tertarik dengan dunia kopi. Seharusnya dia menunjukkan kalau dunia perkopian itu luas dan menarik untuk dipelajari.
Nyatanya, karena semua kesalahan dan kekurangan yang ditunjukkannya itu, aku dan kawan-kawan lain yang sempat tertarik jadi kurang bersemangat karena merasa dunia kopi itu terlalu rumit dan sedikit saja kesalahan bisa membuat hasil akhir yang jelek sekali.
Secangkir kopi yang seharusnya punya rasa unik untuk tiap seduhan, malah jadi pahit karena selalu ada yang salah atau kurang.
—
Kondisi ini bisa terjadi dalam hal apapun. Memahami sesuatu sepenuhnya bisa berarti dua hal.
Yang pertama, membuat kita jadi perfeksionis dalam konotasi buruk. Nyatanya, banyak tahu nggak berarti bisa lebih menikmati. Kadang tahu terlalu banyak membuat kita membandingkan hasil kerja kita dengan orang lain. Dalam kondisi terburuk, kita jadi nggak berani memulai sesuatu karena kita merasa nggak akan sanggup menjalani semua prosesnya tanpa cela.
Yang kedua, tahu banyak hal membuat kita lebih menghargai proses. Kita tahu ada banyak “pos” yang harus dilewati sebelum biji kopi menjadi secangkir kopi. Kita mengerti setiap proses itu harus dikerjakan dengan baik, tapi juga sadar ada banyak faktor yang bisa memengaruhi output dari setiap “pos”.
Kita bisa menikmati hasil apa adanya, dengan niat akan selalu berusaha membuat yang terbaik sesuai dengan standar yang seharusnya. Kita bisa menikmati secangkir kopi tanpa harus mengeluh tentang latte art yang bentuknya lebih mirip riak air daripada daun.