Menggoyang Prinsip Demi AdSense?
Okay, so this is bothering me more and more this days.
Jadi beberapa hari terakhir ini di salah satu grup Whatsapp gue yang bertajuk “arisan” tapi isinya bapak-bapak dan kakek-kakek semua, lagi ramai (lagi) pembahasan tentang monetizing Youtube. Singkat cerita, salah satu dari kita kayaknya semangat banget untuk nyari uang dari AdSense, karena memang untuk konten dan channel yang sukses, uang masuknya lebih dari cukup untuk biaya makan sebulan.
Kemudian muncul topik lain, tentang konten apa yang bisa cepat sukses dan trending di Youtube. Yah, tanpa mengurangi rasa hormat untuk para kreatornya, konten receh adalah materi yang paling cepat menghasilkan uang di Youtube. Konten receh yang dimaksud misalnya grebek rumah, tantangan makan aneh-aneh, konten reaksi, konten prank yang sama sekali nggak lucu – justru sering kali menimbulkan masalah – dengan script, konten semi-semi mesum dengan thumbnail yang bikin anak-anak baru belajar dewasa jadi tertarik, dan macam-macam konten lain yang masuk kategori small effort untuk pembuatannya.
Jujur, gue anti sama konten model kayak gini. Sebagian orang mungkin membantah kalau konten receh pun butuh effort. Benar, gue sepakat. Itulah alasannya gue bilang konten receh adalah konten yang butuh usaha kecil, dan bukan tanpa usaha sama sekali. Butuh network yang bagus untuk bisa bikin konten grebek rumah. Perlu modal untuk bikin konten tantangan ini dan itu, butuh teman untuk bikin scripted prank, butuh kamera untuk merekam pengamen jalanan bersuara emas mirip Judika. Tapi apa untungnya konten semacam itu untuk orang lain? Jawabannya sederhana. HIBURAN.
Education vs Entertainment
Konten yang bisa menghasilkan uang di Youtube hanya ada 2 jenis. Hiburan dan Edukasi. Konten edukasi itu misalnya gadget review, automotive review, tutorial, how-to’s, dan masih banyak lagi. Nggak mustahil juga konten edukasi membutuhkan usaha yang lebih kecil daripada konten hiburan, tapi paling tidak ada sesuatu yang worth remembering dari konten edukasi. Ada sesuatu yang bisa diambil dan dijadikan referensi untuk melakukan sesuatu dari konten edukasi.
Sayangnya konten edukasi di Indonesia kalah bersaing dengan konten grebek rumah milik salah satu keluarga putra petir dan artis mantan penyanyi yang jadi pelawak dan gagal jadi pejabat negara.
Kemudian ada lagi yang membantah. Konten yang menggabungkan keduanya ada kog. Memang ada, dan dan sebutannya adalah edutainment. Konten semacam ini biasanya bersifat serius tapi dikasih bumbu-bumbu lelucon atau hiburan supaya nggak kaku kayak kanebo kering. Contohnya, stand up comedy, game play through, podcast Makna Talk, konten Cak Dave – bule Australia yang fasih banget bahasa Jawa, dan materi lain yang sejenis.
The Verdict
Pertanyaannya, apakah orang-orang yang tidak mau pindah dan membuat konten receh itu idealis? Menurut gue sih nggak. Karena gue adalah salah satu yang nggak mau membuat konten receh demi monetizing dan AdSense. Logikanya, siapa sih yang nggak mau uang? Siapa yang nggak mau sukses dan kaya raya kayak Arief Muhammad A.K.A Poconggg? Siapa yang nggak mau terkenal di persekutan duniawi kayak Gofar Hilman A.K.A pergi jauh? Siapa yang nggak mau viral kayak Bowo Alpenliebe yang sekarang bisa berbangga hati dan mencibir orang-orang yang dulu menghina dia karena tiktok? Siapa yang nggak mau semua itu apalagi dengan small effort? Jawabannya, banyak.
Menolak membuat konten receh itu bukan urusan idealisme buta. Menolak membuat konten tanpa bobot itu urusan realistis – karena semua orang butuh uang – tapi punya prinsip. (cakep!!)
Gue realistis, tapi masih punya prinsip.
Gue punya prinsip, apapun yang gue lakukan di media sosial harus well thought. Dipikirkan masak-masak, apa gunanya, apa manfaatnya, kenapa materi itu diangkat untuk jadi konten dan kira-kira resiko ke depannya apa setelah konten itu viral. Gue nggak mau bikin konten receh yang menyinggung dan ujung-ujungnya harus minta maaf ke orang yang tersindir sambil dijadikan konten lagi. That’s ridiculous!
Nah, sayangnya, teman gue ini kurang sadar tentang itu. Mungkin latar belakang di dunia penyiaran sedikit banyak mengubah cara pandang dia tentang monetisasi media sosial. Prinsip yang dia pegang mungkin the bigger the traffic, the bigger the money. Yah, gue nggak menyalahkan dia, karena itu adalah bagian dari pekerjaannya. Cuma, kan nggak semua orang hidup di dunia itu. Nggak semua orang nyaman melakukan apa saja demi monetisasi konten. Nggak semua orang nyaman menggoyang prinsipnya demi AdSense.
Nggak semua orang sepicik mantan pesulap yang jadi guru diet yang jadi pembawa acara, yang jadi Youtuber, yang “nyuri” konten tentang sekolah dari Prince EA dan mengubah sedikit kata-katanya seolah itu adalah isi kepalanya sendiri, yang jadi Islam kemudian mengomentari hari natal merasa dia yang paling mengerti, yang jadi podcaster yang jadi komentator segala-gala.
Gue realistis, tapi masih punya prinsip.
i like information