Priority Done Wrong
Sudah empat bulan aku jadi anker – anak kereta – yang pergi pagi pulang malam, himpit-himpitan di kereta persis lagunya /rif. Bedanya lagu mereka itu tentang bis kota.
Kepo alias nosy alias over-curious mau nggak mau jadi kebiasaan. Namanya di tempat penuh sesak begitu, nggak ada informasi audio visual yang bisa dirahasiakan, termasuk kehidupan dan strata sosial seseorang dilihat dari cara bicara, gaya berpakaian dan gadget yang dipegangnya.
Di stasiun atau di dalam kereta, segala jenis gadget bisa kelihatan. Dari yang paling baru sampai yang menurutku udah nggak ada satupun manusia yang punya barang seperti itu. Aku pernah liat orang pakai handphone sebesar remote TV yang di kepalanya ada antena mirip sirip hiu. Google pixel pun ada apalagi cuma iPhone yang belakangan ini banyak di-refurbished. Orang macam aku yang bayar 10 juta waktu pertama keluar pasti sakit hati ngeliat mereka pakai iPhone yang mirip dengan harga cuma 2 juta.
Anyway, kembali ke urusan prioritas.
Sewajarnya, orang-orang yang punya gadget mantap itu ekonominya pun berkecukupan. Mereka bisa membayar cicilan kartu kredit 0% 1 juta per bulan untuk beli iPhone 7 baru artinya limit kartu kredit mereka cukup besar. Limit kartu kredit cukup besar artinya gaji mereka pun dianggap cukup besar oleh bank. Tapi nyatanya, banyak kulihat orang-orang ber gadget mantap ini penampilannya nggak sejalan dengan gengsinya.
Di tangannya ada handphone canggih belasan juta, sementara di kakinya ada sepatu yang kulitnya udah meletek di mana-mana. Pernah ada yang sepatunya sampai menganga, tapi aku berpikir positif aja mungkin itu baru sobek hari ini jadi belum sempat beli. Tapi kalau misalnya di tangannya ada iPhone 7 yang belum ada barang refurbished, tapi tali ranselnya robek dan resletingnya dikaitkan pakai peniti?
Come on, it takes time for that bag pack to be torn out like that. Seriously?
Kalau gengsi dan gaya udah mengatasi semuanya, wajar aja banyak orang-orang dengan smartphone seharga mobil punya otak yang kalah smart.